Langkat – Direktur Lembaga Studi Pengadaan Indonesia (LSPI) Syahrial Sulung mendesak Kejaksaan Tinggu Sumatera Utara (Kejatisu) mengusut dugaan korupsi. Syahrial menilai, pengadaan mobiler di Dinas Pendidikan (Disdik) Langkat tahun anggaran 2024 senilai Rp15 Miliar lebih, diduga sarat dengan mark up.
“Senin 10 Maret 2025 sudah kita serahkan berkas dugaan korupsi di Disdik Langkat TA 2024 ke bagian PTSP Kejatisu. Kita tunggu saja tindaklanjutnya,” kata pengamat sosial ini, Selasa (11/3/2025) sore.
Proyek mobiler pengadaan mebel SD Negeri dan SMP Swasta di lingkungan Disdik Langkat sendiri, dilaksanakan via katalog elektronik. Pengadaan secara daring ini, diduga jadi modus korupsi terselubung di balik regulasi e-Purchasing.
“Harga barang yang ditawarkan penyedia di aplikasi e-katalog adalah harga yang tidak wajar (bid rigging). Kita mencurigai, Pejabapt Pembuat Komitmen (PPK) dan penyedia ada melakukan kongkalikong diluar aplikasi e-purchasing”, bebeer Sekretaris DPD Barisan Pemuda Nusantara (BAPERA) Kabupaten Langkat ini.
Ia menilai, pemilihan rekanan serta tahapan persiapan e-purchasing diduga tidak mengacu pada ketentuan. Sesuai tahapan, PPK wajib mengunggah dokumen perisapan yang memuat spesifikasi teknis, prioritas produk dalam negeri dan hal lainnya.
Tak Sesuai Spesifikasi
Termasuk diantaranya kualifikasi penyedia usaha kecil serta kumpulan referensi harga yang ditetapkan PPK. Diamana, hal itu semestinya berdasarkan perkiraan harga berbasis harga pasar, standar harga dan harga paket pekerjaan sejenis.
Dokumen persiapan ini lah yang semestinya menjadi pertimbangan PPK, dalam menentukan penyedia dan produk se-efisien mungkin. Proyek pengadaan ini pun kontraknya dipecah menjadi 2 paket.
Dua paket itu adalah pengadaan mebel ruang kelas untuk 117 SD Negeri se-Kabupaten Langkat senilai Rp9.359.298.000. kemudian, juga ada kontrak pengadaan mebel ruang kelas untuk 75 SMP Swasta se-Kabupaten Langkat sebesar Rp5.994.750.
Kedua paket ini, dilaksanakan oleh CV Maju Jaya yang beralamat di Jl Pasar III Tembung, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, sesuai surat pesanan tertanggal 18 Oktober 2024.
Pengadaan itu meliputi, kursi dan meja siswa SD/SMP masing-masing sebanyak 9.600 unit. Kursi dan meja guru masing-masing sebanyak 384 unit dan lemari arsip serta papan tulis gantung masing-masing sebanyak 384 unit.
Dugaan Markup
Berdasarkan hasil temuannya, Syahrial melihat ketidaksesuaian harga kontrak pada pengadaan produk tersebut. Diamana, spesifikasi untuk kebutuhan ruang kelas SD dan SMP mengguanakan material yang sama. Harga satuanya pun terkesan tak wajar.
Faktanya, satuan kursi siswa SD dan SMP terdapat selisih Rp70.000 per unit. Perbedaanya hanya terlerak pada selisih tinggi sebesar 5 sentimeter. Harga satuan papan tulis Rp1.265.000 juga tak wajar. Material yang digunakan, lebih sedikit dari untuk membuat 1 unit meja guru.
Kemudian, harga satuan lemari arsip dengan 2 rak juga tak wajar. Meterial kayu lat sembarang ukuran 1 x 1,5 dan 1 x 2 inci dan triplek 4 milimeter dibandrol seharga Rp2.244.350.
Selain itu, terdapat juga selisih satuan harga meja pada SD dan SMP lainnya sebesar Rp170.000 dari harga meja guru. Dimana, material yang digunakan pada prinsipnya berbanding 1:2.
Anehnya lagi, pengadaan itu tercantum dalam pekerjaan minor pada proyek pembangunan dan rehabilitasi sekolah pada saat bersamaan. Bahkan, dengan harga satuan yang jauh lebih murah.
Bahan Tak Berkualitas
Di dalam RAB tersebut, harga meja siswa tunggal yang tertera senilai Rp520.000. Untuk kursi siswa tunggal senilai Rp350.000. “Jadi, ada indikasi ketidaksesuaian standar satuan harga, atau harga ketimpangan dalam proses pengadaannya,” tambahnya.
Dalam website e-katalog lokal Sumatera Utara, produk yang ditawarkan CV Maju Jaya mencantumkan material dari bahan kelompok kayu meranti, papan steam dan multiplek. Namun realitanya, pihak rekanan malah mensuplai produk dari bahan kayu berkualitas rendah.
Terkait temuan ini, Syahrial meminta penyidik untuk menghadirkan ahli kayu mengauditnya. Karena secara kasat mata, 40 persen produk tersebut menggunakan kayu kelas III. Sisanya, 60 persen lagi menggunakan multiplek/triplek.
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pengadaan SD Negeri dan SMP Swasta Disdik Langkat Muhammad Nuh belum memberikan keterangan terkait hal ini. Hingga berita ini diterbitkan, pesan WhatsApp yang dikirim belum dibalas yang bersangkutan. (Ahmad)